I made this widget at MyFlashFetish.com.

Sabtu, 08 Mei 2010

Kenapa Matematika sulit?




Sebenarnya tanpa membaca komentar teman-teman blogger semua saya memang sudah merencanakan menulis tentang ini. Tapi jujur dan serius saya sangat terharu (halah mendramatisir suasana) kaget bercampur gembira membaca komentar teman-teman semua, ternyata semua komentar menunjukkan tanggapan positif tentang keberadaan matematika dalam kehidupan.

Kalau tulisan saya kemarin tentang keberadaan Matematika dalam kehidupan maka tulisan saya sekarang tentang keadaan Matematika dalam kehidupan.

Bagaimanakah keadaan Matematika dalam kehidupan kita sekarang?

Mau tidak mau saya harus mengakui kenyataan kalau Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dihindari, ditakuti, dibenci dll. Banyak siswa yang baru mendengar kata Matematika saja langsung bereaksi negatif. Ada yang langsung mengeluh matematikanya sulit lah bahkan kadang sampai membawa-bawa sang guru, “Pak deKing galak tur nyebahi sih dadine males karo Matematika” (“Pak deKing galak dan menyebalkan sich jadi males sama Matematika”).

Lalu yang jadi pertanyaan, “Kenapa citra Matematika begitu buruk di mata sebagian siswa kita? “

Berikut saya akan mencoba menguraikan pendapat saya tentang hal ini (maaf ini sangat subyektif karena hanya ditinjau dari sudut pandang saya)…..

“Kenapa citra Matematika begitu buruk di mata sebagian siswa kita? “

1. Faktor Matematika itu sendiri.

Matematika menuntut banyak analisa, perhitungan, dll (banyak siswa yang cenderung memilih menghafalkan dari pada berhitung). Lalu adakah cara untuk membuat Matematika (benar-benar sebagai ilmu) menjadi lebih menyenangkan? Tunggu tulisan/posting saya selanjutnya tentang ini.

2. Faktor guru

Guru memegang peranan yang sangat penting dalam pendidikan (sebenarnya lebih tepatnya pengajaran). Penguasaan materi yang dicapai siswa tentu saja sangat tergantung pada guru. Ada hal yang saya soroti dari faktor ini, yaitu tentang perilaku guru (maaf, bingung cari istilah yang tepat untuk ini).

Perilaku guru:

Jaman dulu guru Matematika identik dengan galak karena beliau-beliau suka menghukum (istilah jaman dulu strap) siswa jika mereka tidak mengerjakan soal. Hukuman tersebut juga lebih bersifat fisik, misalnya berdiri di depan kelas dengan satu kaki atau dipukul dengan penggaris (kejam ya?). Tentu saja mungkin jaman sekarang tidak ditemui model hukuman seperti itu (semoga saja) tetapi kesan guru galak sudah terpatri dan menyatu dengan Matematika. Memang benar sekarang bukan jamannya hukuman fisik tetapi entah kebetulan atau tidak ternyata memang masih banyak guru Matematika yang tidak simpatik (tanya saja sama Anung. Pasti dijawab ada, yaitu Pak deKing).

Ketidaksimpatikan guru tersebut tentu saja sangat berpengaruh pada minat siswa terhadap mata pelajaran yang diampu sang guru. Misalkan seorang siswa sudah tidak senang dengan guru Matematika maka pelan-pelan dia akan apriori juga dengan Matematika. Guru kan bisa diibaratkan jembatan antara ilmu dengan siswa, jadi gimana siswa bisa menyeberang jika dia tidak melewati jembatan itu. Memang sih siswa bisa menyeberang dengan berenang atau naik perahu, tetapi tidak semua siswa bisa berenang atau menyewa perahu. Benar kalau ada yang bilang siswa kan juga manusia yang bisa belajar sendiri tanpa bantuan sang guru, siswa bisa otodidak.

Tetapi sekali lagi tidak semua siswa bisa berenang, tidak semua siswa bisa belajar sendiri tanpa bantuan guru. So, teacher will always have a very important role in education.

Bagaimana siswa bisa menyukai Matematika jika mereka tidak menyukai guru Matematika?

Jadi untuk membuat siswa menyukai Matematika salah satu langkah awal yang bisa ditempuh adalah membuat siswa mencintai menyukai guru Matematika

*ehm..ehmm…sambil membetulkan krah baju yang sudah rapi*

Demi siswa tercinta, Bapak dan Ibu guru sekalian marilah kita tingkatkan kesimpatikan kita hehehe..

3. Faktor siswa itu sendiri

Hal yang saya soroti di sini adalah sugesti dan motivasi.

Banyak siswa yang sudah terbujuk legenda turun temurun kalau Matematika itu sulit dan gurunya menyebalkan. Legenda itu benar-benar telah men-sugesti siswa sehingga mereka cenderung kalah sebelum bertanding. Siswa cenderung terlanjur berpikir Matematika sulit sebelum mereka benar-benar mencoba Matematika.

Yang kedua adalah motivasi. Sepertinya motivasi siswa untuk menaklukkan Matematika masih rendah, siswa baru tergopoh-gopoh mengejar Matematika setelah pemerintah menetapkan standar minimal kelulusan. Jadi tetap banyak manfaatnya juga pemerintah menetapkan standar kelulusan, setidaknya itu bisa menjadi pemicu siswa lebih rajin belajar Matematika.

Saya masih ingat perkataan teman saya waktu Ospek dulu, teman saya tersebut (dia anak pemilik Pamela group di Jogja) berkata “You can if you think you can”. Perkataan itu benar-benar membekas di hati dan kepala saya, bukan berarti segala yang kita pikirkan pasti menjadi kenyataan tetapi perkataan tersebut menunjukkan arti penting motivasi dalam pencapaian prestasi diri.

Finally…

Adakah solusi untuk memperbaiki keadaan Matematika tersebut?

Bagaimana peran Lembaga Bimbingan Belajar dalam hal ini?

Menurut saya banyak lembaga bimbingan belajar yang melakukan pembodohan massal secara terselubung melalui metode praktis dan trik-trik yang lain. Metode praktis dan trik memang bagus tetapi semua itu membuat siswa kehilangan sense akan Matematika yang sedang dia pelajari.

Mungkin tulisan saya selanjutnya akan bercerita tentang salah satu cara yang sedang dikembangkan di Indonesia untuk membantu mengatasi masalah tersebut. Memang cara tersebut masih sebatas dikembangkan di tingkat pendidikan dasar (yaitu SD), semua ini berdasarkan asumsi bahwa pendidikan dasar merupakan pondasi utama yang sangat menentukan kekuatan bangunan pendidikan secara keseluruhan.

0 komentar:

Posting Komentar